0
Apa yang lo pikirkan saat melihat sebuah rumah? Nyaman, aman, melindungi dari hujan, angin dan matahari. Intinya, rumah adalah tempat dimana kita bisa seenaknya melakukan hal-hal tanpa larangan orang lain, bisa makan, minum, tidur, salto, boker, boker sambil salto.. Ya semua bisa dilakukan dirumah. Rumah adalah seperti menemukan orang yang membuat kita nyaman, kenyamanan itu segalanya. Karena saat kita sudah nyaman dengan sesuatu, kita pasti nggak ingin beranjak meninggalkannya.
Jadi dia,
Gue dan dia, kami. Kami bertemu tanpa diduga. Bukan kebetulan sih, karena gue nggak percaya pada kebetulan, gue lebih percaya pada pertemuan yang sudah disiapkan diam-diam karena gue tau setiap manusia punya garis kehidupan masing-masing yang apabila di-ijinkan pasti akan bersinggungan. Dia satu angkatan diatas gue. Setelah sekian lama gue sekolah disini gue baru tau dia. Padahal kelasnya juga nggak jauh dari kelas gue. Ya, kami kenal juga dengan cara sangat nggak sengaja. Pada awalnya gue biasa aja, sangat biasa malah. Sama sekali nggak berfikir bakal punya rasa ataupun yang lainnya. Semakin hari gue semakin deket sama dia, sebelumnya, buat naksir sama orang gue perlu mengetahui siapa dia, mengetahui seluruh informasi tentang orang yang gue suka, nama lengkapnya lah, alamatnya lah, nama papanya lah.. Gue harus tau segalanya tentang orang yang gue suka, seolah-olah sedang mencari informasi tentang seorang tersangka mutilasi. Ya tapi, gue menemukan perbedaan disini. Gue mengenal dia bukan karena dia banyak cerita ataupun lewat gue yang tanya ke teman-temannya. Gue mengenal dia lewat sikapnya. Sikapnya yang nggak jaim seperti kakak kelas yang lain dalam katagori cowok keren disekolah.
Gue dan dia, kami. Kami punya kesamaan dalam selera musik. Selain itu, kami sama-sama pecandu game virtual. Yap, kami adalah gamers. Yang jelas gue ngerasa menemukan seorang yang sepertinya, ini gue banget. Semakin lama, hubungan gue sama dia semakin deket, gue mulai menemukan apa yang dimaksud dengan kecocokan disini, hampir setiap hari kita saling ngabarin, dan dia pernah bilang kalo dia itu emosian dan sensian maka dari itu gue harus hati-hati dalam bicara. Mendadak gue ngerasain sebuah kenyamanan yang saat itu belum berani gue simpulkan pada perasaan suka, dia selalu ada telinga buat gue, dia seperti seolah-olah muncul disaat gue bener-bener ngerasa down.
Gue dan dia, kami. Semakin lama, gue semakin mengenal siapa dia, bukan karena gue mencari tau, tapi karena sikapnya yang nggak sengaja membuat gue tau dengan sendirinya, gue baru tau kalo dia ternyata juga pecinta cappuccino seperti gue, dia juga benci telur seperti gue, dan lebih mengejutkannya lagi, ternyata ayah-nya dan ayah gue dulu satu sekolah. Dan pada hari itu, kita sama-sama saling menyatakan. Dan sesimpel itu, kita jadi satu.
Gue dan dia, kami. Kami pada awalnya sangat banyak problem, entah itu dari mantannya, dari temen deket gue yang ternyata naksir dia, dan saat itu gue minta udahan dan nyerah gitu aja. Tapi anehnya, sikap gue yang kekanak-kanakan yang seharusnya membuat dia sensi dan emosi itu malah membuat dia berbalik menjadi orang yang bisa dibilang, sabar banget. Berkali-kali dia meyakinkan gue bahwa semua akan baik-baik aja, berkali-kali gue menolak dan bilang mending udahan aja. Tapi dia terus meyakinkan gue. Dan kemarin setelah nganterin gue pulang, sekali lagi dia mohon sama gue buat ngurangin sikap kekanakan gue dan lagi-lagi meyakinkan bahwa semua akan baik-baik aja. Gue melihat keseriusan dimata dia saat itu, gue nggak pernah se-lama itu menatap mata dia. Karena gue gak berani juga sih, pada akhirnya gue luluh juga dengan dia, dan sore itu diakhiri dengan saling mencium tangan serta sebisanya mencoba memperbaiki sikap yang selama ini salah di gue. Dan mungkin dia juga.
Lucu ya, bagaimana bisa orang yang awalnya sensian tiba-tiba menjadi sabar dan bisa sebijak itu dalam meyakinkan orang? Iya, gue tau. Dia belajar dari pengalaman hubungan dia yang sebelumnya. Dan seharusnya gue bisa seperti dia, seharusnya gue bisa menghilangkan sifat kekanakan gue, entah cemburuan, entah emosian ataupun nggak pekaan. Gue memang susah menebak, gue emang susah untuk peka. Mungkin gue dan dia berlawanan dalam hal ini, tapi dengan gue yang nggak peka dan dia yang sangat peka malah justru memperlihatkan penggenapan?
Well, saat memutuskan buat pindah hati ke dia itu ibarat pindah rumah. Ya mungkin begitupun dia, pasti bakal agak susah, pasti pada awalnya masih belum terbiasa, pasti bayangan rumah lama masih gangguin ingatan kita, dan mungkin hal itulah yang menyebabkan adanya proses adaptasi, tapi gue mendingan pindah, dan ternyata dia mengijinkan gue buat tinggal disana. Iya, dia itu rumah buat gue, tempat gue pulang, tempat gue berkeluh-kesah, tempat gue berlindung, dan tempat yang menawarkan kenyamanan.. Dan gue berharap, gue bisa tinggal terus dirumah itu. Dia.

Post a Comment

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.